Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi
Dari Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhu, bahwasanya Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam pernah didatangi Jibril Alaihissallam lalu ia berkata
kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, “Bangun dan shalatlah!” Maka
beliau shalat Zhuhur ketika matahari telah tergelincir. Kemudian Jibril
mendatanginya lagi saat ‘Ashar dan berkata, “Bangun dan shalatlah!” Lalu
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat ‘Ashar ketika bayangan semua
benda sama panjang dengan aslinya. Kemudian Jibril mendatanginya lagi
saat Maghrib dan berkata, “Bangun dan shalatlah.” Lalu Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam shalat Maghrib ketika matahari telah terbenam.
Kemudian Jibril mendatanginya saat ‘Isya' dan berkata, “Bangun dan
shalatlah!” Lalu beliau shalat ‘Isya' ketika merah senja telah hilang.
Kemudian Jibril mendatanginya lagi saat Shubuh dan berkata, “Bangun dan
shalatlah!” Lalu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat Shubuh ketika
muncul fajar, atau Jabir berkata, “Ketika terbit fajar.”
Keesokan harinya Jibril kembali mendatangi Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam saat Zhuhur dan berkata, “Bangun dan shalatlah!” Lalu beliau
shalat Zhuhur ketika bayangan semua benda sama panjang dengan aslinya.
Kemudian dia mendatanginya saat ‘Ashar dan berkata, “Bangun dan
shalatlah!” Lalu beliau shalat ‘Ashar ketika panjang bayangan semua
benda dua kali panjang aslinya. Kemudian dia mendatanginya saat Maghrib
pada waktu yang sama dengan kemarin dan tidak berubah. Kemudian dia
mendatanginya saat ‘Isya' ketika pertengahan malam telah berlalu -atau
Jibril mengatakan, sepertiga malam,- lalu beliau shalat ‘Isya'. Kemudian
Jibril mendatangi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam saat hari sudah
sangat terang dan berkata, “Bangun dan shalatlah!” Lalu beliau shalat
Shubuh kemudian berkata, ‘Di antara dua waktu tersebut adalah waktu
shalat.’” [1]
At-Tirmidzi mengatakan bahwa Muhammad (yaitu Ibnu Isma'il al-Bukhari)
berkata, “Riwayat paling shahih tentang waktu shalat adalah hadits
Jabir.”
1. Zhuhur
Waktunya dari tergelincirnya matahari hingga bayangan semua benda sama panjang dengan aslinya.
2. ‘Ashar
Waktunya dari saat bayangan semua benda sama panjang dengan aslinya hingga terbenamnya matahari.
3. Maghrib
Waktunya dari terbenamnya matahari hingga hilangnya warna kemerah-merahan pada senja.
Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam : “Waktu shalat
Maghrib selama warna kemerah-merahan pada senja belum hilang.” [2]
4.‘Isya'
Waktunya dari hilangnya merah senja hingga pertengahan malam.
Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu a'alaihi wa sallam: “Waktu shalat ‘Isya' hingga pertengahan malam.”
5. Shubuh
Waktunya dari terbit fajar hingga terbit matahari.
Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :
وَقْتُ صَلاَةِ الصُّبْحِ مِنْ طُلُوْعِ الْفَجْرِ مَالَمْ تَطْلُعِ الشَّمْسُ.
“Waktu shalat Shubuh dari terbitnya fajar hingga sebelum matahari terbit." [4]
A. Apakah yang Dimaksud dengan ash-Shalat al-Wustha (Pertengahan)?
Allah Ta'ala berfirman:
حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلَاةِ الْوُسْطَىٰ وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ
“Peliharalah segala shalat(mu), dan (peliharalah) shalat Wusthaa.
Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu'.” [Al-Baqarah:
238].
Dari 'Ali Radhiyallahu anhu, dia mengatakan bahwa di hari terjadinya
perang al-Ahzab Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
شَغَّلُوْنَا عَنِ الصَّلاَةِ الْوُسْطَى صَلاَةِ الْعَصْرِ، ملأَ اللهُ بُيُوْتَهُمْ وَقُبُوْرَهُمْ نَارًا
"Mereka telah menyibukkan kita dari shalat al-Wustha (yaitu) shalat
'ashar. Semoga Allah memenuhi rumah-rumah dan kubur-kubur mereka dengan
api."[5]
B. Disunnahkan Memajukan Shalat Zhuhur di Awal Waktu Ketika Hari Tidak Terlalu Panas.
Dari Jabir bin Samurah, dia berkata:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّى الظُّهْرَ إِذَا دَحَضَتِ الشَّمْسُ.
"Dahulu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengerjakan shalat Zhuhur ketika matahari telah tergelincir (condong ke barat)." [6]
C. Jika Cuaca Sangat Panas, Disunnahkan Menunda Shalat Zhuhur sampai Cuaca Agak Dingin (Selama Tidak Keluar dari Waktunya-Ed.)
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا اشْتَدَّ الْحَرُّ فَأَبْرِدُوْا بِالصَّلاَةِ، فَإِنَّ شِدَّةَ الْحَرِّ مِنْ فَيْـحِ جَهَنَّمَ.
"Jika hari sangat panas, maka tidaklah shalat hingga cuaca menjadi agak
dingin. Sesungguhnya panas yang sangat itu merupakan bagian dari didihan
Jahannam."[7]
D. Disunnahkan Menyegerakan Shalat 'Ashar
Dari Anas Radhiyallahu anhu:
"Bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah shalat
'Ashar, sedangkan matahari masih tinggi dan terang. Lalu seseorang pergi
dan mendatangi al-'Awali (tempat di sudut Madinah) sedangkan matahari
masih tinggi." [8]
E. Dosa Orang yang Melewatkan Shalat 'Ashar.
Dari Ibnu 'Umar Radhiyallahu anhuma, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda, "Orang yang melewatkan shalat 'Ashar seperti orang yang
berkurang keluarga dan hartanya." [9]
Dari Buraidah Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ تَرَكَ صَلاَةَ الْعَصْرِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ.
"Barangsiapa meninggalkan shalat 'Ashar, maka terhapuslah amalannya." [10]
F. Dosa Orang yang Mengakhirkannya Hingga Menjelang Senja (Ketika Matahari Akan Terbenam)
Dari Anas Radhiyallahu anhu dia berkata, "Aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
تِلْكَ صَلاَةُ الْمُنَافِقِ، يَجْلِسُ يَرْقُبُ الشَّمْسُ حَتَّى إِذَا
كَانَتْ بَيْنَ قَرْنَيِ الشَّيْطَانِ قَامَ فَنَقَرَهَا أَرْبَعًا لاَ
يَذْكُرُ اللهَ إِلاَّ قَلِيْلاً.
'Itulah shalatnya orang munafiq. Dia duduk sambil mengawasi matahari.
Hingga ketika matahari berada di antara dua tanduk syaitan (waktu terbit
dan tenggelamnya matahari) ia bangkit dan shalat empat raka'at dengan
cepat. Ia tidak mengingat Allah kecuali hanya sedikit."[11]
G. Disunnahkan Menyegerakan Shalat Maghrib dan Dimakruhkan Mengakhirkannya
Dari 'Uqbah bin 'Amir Radhiyallahu anhu, Nabi Shalallahu a'alaihi wa sallam bersabda:
لاَ تَزَالُ أُمَّتِى بِخَيْرٍ أَوْ عَلَى الْفِطْرَةِ مَـالَمْ يُؤَخِّرُوا الْمَغْرِبَ حَتَّى تَشْتَبِكَ النُّجُوْمُ.
"Umatku senantiasa dalam kebaikan atau dalam keadaan fithrah selama
mereka tidak mengakhirkan shalat Maghrib hingga banyak bintang
bermunculan."[12]
Dari Salamah bin al-Akwa' Radhiyallahu anhu : “Dulu Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat Maghrib jika matahari telah
terbenam dan bersembunyi di balik tirai (tidak nampak).” [13]
H. Disunnahkan Mengakhirkan Shalat 'Isya' Selama Tidak Memberatkan
Dari 'Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Pada suatu malam Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam mengakhirkan shalat ‘Isya’, hingga
berlalulah sebagian besar malam dan para penghuni masjid telah tertidur.
Kemudian beliau keluar dan shalat, lalu berkata, 'Sesungguhnya ini
adalah waktunya, hanya saja aku tak ingin memberatkan umatku. [14]
I. Dimakruhkan Tidur Sebelumnya dan Perbincangan yang Tidak Berguna Sesudahnya.
Dari Abu Barzah Radhiyallahu anhu : “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam membenci tidur sebelum 'isya' dan berbincang-bincang sesudahnya."
[15]
Dari Anas Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Suatu malam kami menunggu
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam hingga pertengahan malam. Lalu
beliau datang dan shalat dengan kami, kemudian menasihati kami. Beliau
berkata:
أَلاَ إِنَّ النَّاسَ قَدْ صَلَّوْا ثُمَّ رَقَدُوْا، وَإِنَّكُمْ لَمْ تَزَالُوا فِيْ صَلاَةٍ مَا انْتَظَرْتُمُ الصَّلاَة
"Ketahuilah, sesungguhnya orang-orang telah shalat kemudian tidur. Dan
sesungguhnya kalian senantiasa dalam shalat selama kalian menunggu
shalat.'"[16]
J. Disunnahkan Menyegerakan Shalat Shubuh di Awal Waktunya (Ketika Masih Gelap)
Dari 'Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Dulu para wanita mukminat
menghadiri shalat Shubuh bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam dengan berbungkus pakaian mereka. Kemudian kembali ke rumah-rumah
mereka ketika telah menyelesaikan shalat. Tidak ada seorang pun yang
mengenali mereka karena gelapnya malam."[17]
K. Kapankah Seseorang Dianggap Masih Mendapatkan Waktu Shalat?
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ أَدْرَكَ مِنَ الصُّبْحِ رَكْعَةً قَبْلَ أَنْ تَطْلُعَ الشَّمْسُ
فَقَدْ أَدْرَكَ الصُّبْحَ، وَمَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنَ الْعَصْرِ
قَبْلَ أَنْ تَغْرِبَ الشَّمْسُ فَقَدْ أَدْرَكَ الْعَصْرَ.
"Barangsiapa mendapati satu raka'at shalat Shubuh sebelum matahari
terbit, maka dia telah mendapati shalat Shubuh. Dan barangsiapa
mendapati satu raka'at shalat 'Ashar sebelum matahari terbenam, maka dia
telah mendapati shalat 'Ashar." [18]
Hukum ini tidak di khususkan bagi shalat Shubuh dan 'Ashar saja, tetapi untuk seluruh shalat.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنَ الصَّلاَةِ فَقَدْ أَدْرَكَ الصَّلاَةَ
"Barangsiapa mendapati satu raka'at shalat, maka dia telah mendapati shalat itu" [19]
L. Mengqadha Shalat yang Terlewatkan
Dari Anas Radhiyiallahu anhu, dia mengatakan bahwa Nabi Allah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ نَسِىَ صَلاَةً أَوْ نَامَ عَنْهَا فَكَفَّارَتُهَا أَنْ يُصَلِّيَهَا إِذَا ذَكَرَهَا.
“Barangsiapa lupa terhadap suatu shalat atau tertidur darinya, maka
kaffarat (tebusan)nya adalah melakukan shalat itu jika ia telah
mengingatnya.” [20]
M. Apakah Orang yang Meninggalkan Shalat Dengan Sengaja Hingga Keluar dari Waktunya Wajib Untuk Mengqadha Shalat Tersebut?
Ibnu Hazm rahimahullah berkata dalam al-Muhallaa (II/235), “Sesungguhnya
Allah Ta'ala telah menjadikan waktu tertentu, yaitu awal dan akhirnya,
bagi setiap shalat wajib. Masuk pada waktu tertentu dan keluar pada
waktu tertentu. Tidak ada bedanya antara orang yang shalat sebelum
waktunya dan orang yang shalat sesudah waktunya. Karena keduanya shalat
pada selain waktunya. Qadha adalah kewajiban dari agama. Sedangkan agama
tidak boleh selain dari Allah melalui lisan Rasul-Nya. Jika memang
qadha wajib bagi orang yang sengaja meninggalkan shalat hingga keluar
waktunya, maka tentu Allah dan Rasul-Nya tidak akan melalaikan dan
melupakannya. Tidak pula sengaja menyulitkan kita dengan tidak memberi
penjelasan mengenainya. “Dan tidaklah Rabb-mu lupa.” (Maryam: 64). Dan
setiap syari'at yang bukan dari al-Qur-an dan Sunnah adalah bathil."
[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz,
Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia
Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta,
Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September
2007M]
_______
Footnote
[1]. Shahiih: [Irwaa’ul Ghaliil (250)], Ahmad (al-Fat-hur Rabbaani)
(II/241 no. 90), Sunan an-Nasa-i (I/263), dan Sunan at-Tirmidzi (1/101
no. 150), dengan lafazh serupa.
[2]. Hasan: [Irwaa’ul Ghaliil (I/268)], Shahiih Muslim (I/427 no. 612
(173)), ini adalah lafazh darinya, Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud)
(II/67 no. 392), Sunan an-Nasa-i (I/260).
[3]. Ibid.
[4]. Ibid.
[5]. Shahiih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 217)], Shahiih Muslim (I/437 no. 627 (205)).
[6]. Shahiih: [Irwaa’ul Ghaliil (no. 254)], Shahiih Muslim (I/432 no. 618).
[7]. Muttafaq 'alaihi: [Shahiih Muslim (I/430 no. 615)], ini adalah
lafazh darinya, Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/15 no. 533),
Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (II/75 no. 398), Sunan at-Tirmidzi
(I/105 no. 157), Sunan an-Nasa-i (I/248), dan Sunan Ibni Majah (I/222
no. 677).
[8]. Muttafaq 'alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/28 no.
550)], Shahiih Muslim (I/433 no. 621), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud)
(II/77 no. 400), Sunan an-Nasa-i (I/252), dan Sunan Ibni Majah (I/223
no. 682).
[9]. Muttafaq 'alaihi: [Shahiih Muslim (I/435 no. 626)], Shahiih
al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/30 no. 552), Sunan Abi Dawud (‘Aunul
Ma’buud) (II/84 no. 410), Sunan at-Tirmidzi (I/113 no. 175), dan Sunan
an-Nasa-i (I/238)
[10]. Shahiih: [Shahiih Sunan an-Nasa-i (no. 497)], Shahiih al-Bukhari
(Fat-hul Baari) (II/31 no. 553), dan Sunan an-Nasa-i (I/236).
[11]. Shahih: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 399)], Shahiih Muslim
(XXI/434 no. 622), ini adalah lafazhnya, Sunan Abi Dawud (‘Aunul
Ma’buud) (II/83 no. 409), Sunan at-Tirmidzi (I/107 no. 160), dan Sunan
an-Nasa-i (I/254).
[12]. Hasan Shahih: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 403)], dan Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (II/87 no. 414).
[13]. Muttafaq 'alaihi: [Shahiih Muslim (I/441 no. 636)], Sunan
at-Tirmidzi (I/108 no. 164), Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/41
no. 561), tanpa lafazh: "matahari tenggelam", Sunan Abi Dawud (‘Aunul
Ma’buud) (II/87 no. 413), dengan lafazh serupa, dan Sunan Ibni Majah
(I/225 no. 688), dengan lafazh serupa.
[14]. Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 223)] dan Shahiih Muslim (I/442 no. 638 (219)).
[15]. Muttafaq 'alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/49 no.
568)], Shahiih Muslim (I/447 no. 647 (237)), Sunan Abi Dawud (‘Aunul
Ma’buud) (II/69 no. 394), Sunan an-Nasa-i (I/246).
[16]. Muttafaq 'alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/73
600)], ini adalah lafazh darinya, Shahiih Muslim (I/443 no. 640), dan
Sunan an-Nasa-i (I/268).
[17]. Muttafaq 'alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (1/54 no.
578)], Shahiih Muslim (I/445 no. 645), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud)
(II/91/419), Sunan an-Nasa-i (I/271), Sunan at-Tirmidzi (1/103 no. 153),
Sunan Ibni Majah (I/220 no. 669).
[18]. Muttafaq 'alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (I/56 no.
579)], Shahiih Muslim (I/424 no. 608), Sunan an-Nasa-i (I/273), dengan
lafazh serupa.
[19]. Muttafaq 'alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (I/57 no.
580)], Shahiih Muslim (I/423 no. 607), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud)
(III/471 no. 1108), Sunan at-Tirmidzi (II/19 no. 523), dan Sunan
an-Nasa-i (I/274).
[20]. Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 229)], Shahiih Muslim (I/477 no. 684 (no. 315)).
Sumber:http://almanhaj.or.id/content/1189/slash/0/waktu-waktu-shalat/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar